Emiten Konstruksi Kerek Belanja Modal Manfaatkan Peluang Emas
Jakarta - Emiten konstruksi boleh unjuk gigi. Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan proyek-proyek infrastruktur pada tahun ini telah menjadi angin segar yang berpeluang mengerek bisnis konstruksi. Tak mau kehilangan momentum tersebut, sejumlah emiten meningkatkan belanja modal (capital expenditure/capex) mereka untuk mendongkrak ekspansi bisnis tahun ini.
PT Adhi Karya (Persero) Tbk, misalnya, berniat mengalokasikan capex sebesar Rp5 triliun di sepanjang tahun ini. Target tersebut meningkat jauh 257,14 persen ketimbang belanja modal tahun lalu yang hanya sekitar Rp1,4 triliun.
“Rencananya, belanja modal akan digunakan untuk perolehan aset tetap, penyertaan ke divisi, dan anak perusahaan, termasuk investasi pada proyek infrastruktur," ujar Ki Syahgolang Permata, Sekretaris Perusahaan Adhi Karya, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (5/1).
Adapun beberapa sumber pendanaan yang disiapkan Adhi Karya untuk mengongkosi belanja modal perseroan, yaitu pinjaman bank, hasil IPO (initial public offering) alias penawaran saham perdana anak usahanya, PT Adhi Persada Gedung, yang ditargetkan sebesar Rp1,5 triliun tahun ini juga, termasuk juga kas internal perusahaan.
PT Waskita Karya (Persero) Tbk juga tak rela ketinggalan. Bahkan, tak tanggung-tanggung, perseroan merogoh kocek hingga Rp30,7 triliun atau melesat 206,99 persen ketimbang capex tahun lalu yang sebesar Rp10 triliun saja.
Direktur Utama Waskita Karya M Choliq mengungkapkan, mayoritas pendanaan akan dilakukan untuk proyek jalan tol yang ada di bawah Waskita Toll Road. Sedangkan sisanya akan digunakan untuk capex sektor energi sebesar Rp1,9 triliun.
Kemudian, Waskita Beton Precast Rp2 triliun, Waskita Realty Rp1 triliun, dan Waskita Karya sendiri sebesar Rp900 miliar. "Sebagian besar untuk pembangunan jalan tol yang ada di bawah anak usaha Waskita Toll Road. Itu besarnya mencapai Rp25 triliun," kata Choliq.
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk memenuhi alokasi belanja modalnya tahun ini, perseroan akan menarik pinjaman perbankan, penerbitan surat utang (obligasi), sementara untuk Waskita Beton Precast berasal dari hasil dana IPO yang dilakukannya tahun lalu.
Berbeda dengan dua emiten konstruksi di atas, alokasi belanja modal PT Wijaya Karya (Persero) Tbk tahun ini cuma tumbuh 13,3 persen menjadi Rp12,01 triliun dari tahun sebelumnya Rp10,6 triliun.
Belanja modal itu terdiri dari aset tetap Rp871,15 miliar, penyertaan entitas anak Rp1,19 triliun, penyertaan entitas asosiasi Rp2,28 triliun, dan pengembangan usaha Rp2,36 triliun.
Tak cuma itu, Direktur Utama Wijaya Karya Bintang Perbowo bilang, capex juga akan mengikutsertakan pengembangan usaha diluar penyertaan modal negara (PMN) yang terdiri dari paket 1 sekitar Rp1,46 triliun dan paket 2 sebesar Rp3,9 triliun.
Analis Daewoo Securities Franky Rivan mengakui, sektor konstruksi memang masih akan dilirik oleh pelaku pasar, dengan pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan. Tentu, ini berimbas pada emiten konstruksi, khususnya tiga emiten BUMN seperti Waskita, Wika, dan PT PP (Persero) Tbk.
“Masih akan bagus sekali, terlebih ditunjang dengan APBN tahun ini. Budget yang diberikan pemerintah juga masih besar, sehingga ada dukungan untuk menjalankan proyek infrastruktur,” ucap Franky.
Namun demikian, ia menempatkan saham Adhi Karya dalam posisi hold (tahan) untuk sementara ini. Pasalnya, ia menilai, Adhi Karya masih terlihat bergantung pada perolehan kontrak baru dari proyek LRT (light rail transit) sebesar Rp23 triliun.
Padahal, total nilai kontrak baru yang dipatok Adhi Karya sepanjang tahun ini sebesar Rp44 triliun. Itu berarti, tersisa hanya Rp21 triliun target kontrak dari proyek selain LRT.
"50 persen lebih kontrak masih dari LRT. Itu pun bergantung pada pembayaran dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Adhi Karya juga nggak diversifikasi," kata Franky.
Sementara, menurut Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan, target kontrak Adhi yang selalu melesat dari realisasi tiap tahunnya membuat kepercayaan pasar terhadap emiten tersebut memudar. Tengok saja, untuk tahun lalu Adhi Karya merevisi target kontrak barunya menjadi Rp17,9 triliun dari sebelumnya Rp25 triliun.
“Realisasi target mereka selalu gagal. Kalau satu atau dua kali tidak apa-apa, kalau tiap tahun kan negatif sekali. Waskita Karya, Wjaya Karya, PT PP pertumbuhannya signifikan sekali, tetapi Adhi Karya tertinggal jauh sekali,” papar Alfred.
Jika perusahaan mampu untuk memperbaiki kondisi perusahaan tahun ini, lanjut Alfred, maka akan terbuka jalan bagi Adhi Karya untuk menarik investor melakukan aksi beli pada sahamnya.
Untuk proyek LRT sendiri, jika memang sukses maka otomatis Adhi Karya akan menjadi pelopor dari proyek tersebut dan akan berimbas positif pada perusahaan. (bir)