Uji Beton Tahan Api dengan Teknik “Scan“

04/04/2017

Tidak berkategori

Jakarta - Para peneliti bidang teknik rekayasa di The University of Nottingham, Inggris dan Ningbo, Cina (UNNC), telah menemukan scanning laser. Temuan ini adalah teknik keamanan struktur baru dan layak untuk mendeteksi efek merusak dari api pada beton.

Beton merupakan bahan yang paling banyak digu­nakan dalam konstruksi di seluruh dunia. Rata-rata konsumsi beton dalam skala tahun­an secara global mencapai 1 meter kubik per orang.

Sementara api merupakan sa­lah satu potensi risiko yang paling serius bagi banyak struktur beton seperti jembatan, terowongan, dan bangunan.

Sementara beton dikenal sebagai salah satu bahan dengan daya tahan api yang tinggi. Namun kemam­puan untuk mempertahankan daya dukungnya, baik secara kimia, fisik maupun mekanik akan mengalami perubahan secara drastis ketika mengalami tekanan suhu yang tinggi.

Sebuah kerusakan yang cukup signifikan akan terjadi pada beton saat dipanaskan di atas 300° C. Se­buah sistem penilaian keamanan struktural menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk meng­evaluasi daya dukung residu dan durabilitas yang merusakan struktur beton api.

Sistem ini juga juga digunakan sebagai bagian dari metode perbaik­an yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan bangunan. Selain itu sistem ini digunakan untuk memu­tuskan apakah diperlukan pem­bongkaran atau tidak pada beton.

Ada beberapa teknik konvensio­nal untuk menilai kerusakaan beton api. Baik itu on-site dan off-site. Beberapa metode langsung meliputi inspeksi visual terhadap perubahan warna dan fitur fisik pada beton, se­dangkan metode off-site melibatkan tes invasif seperti pengeboran inti atau teknik berbasis laboratorium. Namun semua metode memiliki kelebihan dan kelemahannya ma­sing-masing.

Wallace Mukupa, mahasiswa PhD di Nottingham Geospatial Institute di UNNC dan rekannya Gethin Rob­erts dan asesten profesor di Univer­sity of Nottingham, Craig Hancock, mempelajari penggunaan terestrial laser scanning (TSL) sebagai cara non destruktif. Cara ini untuk me­nilai dan mendeteksi kerusakan dan keamanan stuktur yang terjadi pada beton api.

Wallace mengatakan bahwa scan­ning dapat dilakukan pada sebuah jarak yang meningkatkan keamanan situs. “Scanning juga cepat dengan jutaan poin yang diukur dalam beberapa detik dan resolusi spasial yang diperoleh dalam waktu singkat ini menguntungkan untuk memper­timbangkan skala atau besarannya,” kata Wallace.

Teknik non-destruktif untuk menilai atau mengukur elemen ke­rusakan beton dengan mengguna­kan TSL ini diterbitkan dalam jurnal Civil Structural Health Monitoring. Studi ini meneliti pengaruh pemin­daian sudut datang dan jarak pada pengembalian intensitas laser. Se­lain itu perubahan warna beton juga dipelajari.

Data yang sudah dikumpulkan dan diinterpretasikan pada beton yang tidak dipanaskan dan dipanas­kan untuk menentukan kondisi dasar dari material. Percobaan pe­nelitian dilakukan di laboratorium yang terkontrol dan menggunakan dua-fase pergeseran laser scanner terestrial (Leica HDS7000 dan FARO Focus 120) untuk memindai spesi­men beton sebelum pemanasan dan kemudian setelah mereka didingin­kan lagi.

Spesimen beton dipanaskan dalam tungku suhu tinggi hingga 1.000° C, sebagai capaian suhu pen­ting dalam menilai faktor kerusakan beton. Untuk menilai perubahan warna dalam beton yang dipanas­kan, spesimen gambar yang ditang­kap menggunakan M-Cam melekat pada laser scanner Leica HDS7000.

Sebuah scanner flatbed (HP Scan­jet G2410) juga digunakan untuk memindai permukaan benton yang dipanaskan dan menangkap gam­bar. Dalam hal ini, gambar-gambar inilah yang digunakan untuk analisis karena resolusi mereka lebih baik.

Selama percobaan, pengukuran sudut kejadian untuk blok beton ditemukan dengan jarak bervariasi. Sebagai pemindaian jarak mening­kat, sudut datang menurun dan kedua scanner yang digunakan menunjukkan kecenderungan yang sama.

“Pengukuran sudut pemindaian kejadian dari berbagai jarak ditemu­kan panjang gelombang indepen­den untuk kedua scanner dan ini merupakan faktor yang menjanjikan dalam hal mengembangkan alat analisis standar untuk sudut datang meskipun beberapa scanner perlu diuji,” kata Dr Roberts .

Wallace juga mengatakan bahwa sebuah analisis komparatif dari inten­sitas laser untuk beton yang dipanas­kan dan tidak dipanaskan berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai intensitas yang direkam untuk beton dipanaskan lebih tinggi daripada beton yang tidak dipanaskan.

Bahkan, nilai-nilai intensitas laser beton yang dipanaskan menun­jukkan peningkatan luar biasa pada suhu paparan dari 250° C sampai 1.000° C,” kata Wallace.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa data RGB meningkatkan identifikasi visual fitur dan menye­diakan gambaran kasar tentang kondisi beton setelah kebakaran. laser scanner memiliki keuntung­an, bahwa sebagian besar dari me­reka memiliki kamera baik internal atau eksternal yang dapat digu­nakan untuk menangkap gambar beton jika resolusi yang baik dapat dicapai.

“Meskipun scanner laser yang digunakan memiliki panjang gelom­bang yang berbeda, hasil menunjuk­kan kelayakan menggunakan TLS sebagai pendekatan untuk menilai tingkat kerusakan beton. Scanner juga memberikan pemahaman ten­tang kondisi beton dalam kaitannya dengan perubahan kekuatan beton ketika dipanaskan dalam suhu tinggi,” kata Wallace.

Sebuah konsep mengenai “self-healing” beton kini sedang dikembangkan oleh para peneliti di Northum­bria University, Inggris. Konsep ini dapat memperbaiki kerusakan beton secara mandiri. Formulanya adalah dengan melihat retakan pada bangunan beton yang terjadi sebe­lumnya.

Jembatan, terowongan, dan ja­lan beton, merupakan komponen utama dari infrastruktur yang ada di dunia ini. Saat ini elemen struktur ini perlu diperbaiki. Perbaikan infra­struktur ini merupakan sesuatu yang mahal karena sering menyebabkan kemacetan panjang.

Sejumlah ilmuwan berpenda­pat, retakan-retakan kecil pada beton dapat terbetuk karena beban pemanen atau variasi suhu. Retakan ini biasanya tidak menimbulkan an­caman langsung terhadap stabilitas struktur beton.

Namun air dan garam dapat menembus beton dan merusak komponen yang terkena dampaknya self-healing beton yang sedang di­kembangkan oleh Dr Alan Richard­son. Dosen Senior bidang konstruksi pada School of the Built and Natural Environment ini menggunakan bakteri tanah (Bacillus megaterium /megaterium basil) untuk mem­buat kalsit, bentuk kristal kalsium karbonat alam.

Bakteri tanah ini kemudian dapat digunakan untuk memblokir pori-pori beton, menjaga air dari luar dan zat-zat yang merusak lainnya sehingga berguna untuk mem­perpanjang umur beton. Bakteri tumbuh pada kaldu ragi, mineral dan urea ini kemudian ditambahkan ke beton.

Dengan sumber makanan di beton, bakteri akan berkembang biak dan dan menyebar, dan nanti­nya akan bertindak sebagai pengisi untuk menutup celah-celah dan mencegah kerusakan lebih lanjut. Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi jalan solusi untuk penghe­matan biaya untuk concrete cancer serta memiliki potensi ko­mersial yang sangat besar.

Meski demikian, penilitian lebih lanjut diperlukan. Dan Dr Richardson berharap adanya perbaikan pada campuran yang akan efektif pada struktur yang ada. Jadi yang disebut concrete cancer atau kanker beton mungkin disebabkan oleh adanya pembengkakan atau tonjolan dan kerusakan beton diperkirkan memerlukan biaya mencapai miliaran poundsterling.

“Proyek ini adalah sangat me­narik. Memunculkan potensi untuk memiliki bangunan yang dapat memperbaiki sendiri,” kata Richard­son.